ADDICTIVE
BEHAVIORS
(
Perilaku Adiktif )
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Psikologi Kesehatan
Di
Ajukan Kepada : Endah Sasmitohening,
S.Psi, M.A
Oleh
:
KELOMPOK
1
Ramadhani
Eka Putri ( G1D114018 )
Valensia
BR N ( G1D114019 )
Efa
Nurin Diansari (
G1D114034 )
Yasmi
Arwati (
G1D114035 )
Iwan Kisra ( G1D114037 )
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU
KESEHATAN
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN
MASYARAKAT
UNIVERSITAS JAMBI
2015
KATA PENGANTAR
Syukur
Alhamdulillah penulis ucapkan kepada ALLAH SWT karena hanya atas Berkah dan
Rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan pengerjaan makalah yang berjudul “
Addictive Behaviors ”.Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah
Psikologi Kesehatan semester kedua.
Pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Endah Sasmitohening, S.Psi, M.A, selaku dosen pembimbing mata
kuliah Psikologi Kesehatan serta kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Semoga
makalah ini dapat memberikan informasi dan manfaat untuk pengembangan wawasan
dan peningkatan ilmu pengetahuan khususnya dalam hal addictive behaviors.
Kami
sebagai penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang
bersifat membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Jambi
, 5 April 2015
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
............................................................................ i
DAFTAR ISI
............................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
............................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 2
1.3 Maksud dan Tujuan
…………....................................................... 2
1.4 Manfaat
......................................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN
2.1 Deskriptif Perilaku Adiktif .................................................... 3
2.2 Tahap Penghentian Perilaku Adiktif ..................................... 5
2.3 Proses Dalam Perilaku Adiktif
...................................................... 6
2.4 Kafein ..................................................................................... 7
2.5 Rokok ..................................................................................... 11
2.6 Minuman Alkohol .................................................................. 17
BAB
III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................... 29
3.2
Saran
............................................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA
...................................................................... .......... iii
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Addictive
behaviors berarti perilaku kecanduan atau suatu tindakan dari diri seseorang
yang dilakukan berulang – ulang sehingga menyebabkan ketergantungan. Kebanyakan
orang – orang berfikir bahwa perilaku kecanduan itu berasal dari obat – obatan
yang menimbulkan efek negatif, namun dapat kita lihat dalam kehidupan sehari –
hari perilaku adiktif tidak hanya karena obat – obatan saja tetapi juga bisa
berasal dari selain obat, seperti kecanduan belanja, kecanduan bermain game
online, kecanduan olahraga dan lainnya.
Perilaku
adiktif terjadi didalam kehidupan karena berbagai faktor ( faktor lingkungan,
sosial, budaya, ekonomi dan lainnya ). Selain faktor tersebut hal yang paling
berpengaruh dalam terbentuknya perilaku adiktif yaitu faktor psikis dari dalam
diri seseorang, jika psikis seseorang sehat maka orang tersebut tidak mudah
terpengaruh kedalam prilaku adiktif dan sebaliknya jika psikis seseorang tidak
sehat maka orang tersebut akan mudah terpengaruh.
Intervensi
tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lainnya, pemerintah dan
masyarakat itu sendiri sangat diperlukan dalam mengurangi perilaku adiktif yang
terus berkembang dalam kehidupan. Seiring dengan perkembangan zaman yang
semakin modern maka sangat dibutuhkan intervensi tenaga kesehatan yang
berkualitas untuk meghadapi masalah perilaku adiktif tersebut
Perilaku
adiktif seperti kecanduan alkohol, kecanduan merokok, kecanduan makanan dan
minuman yang mengandung kafein dapat membahayakan kesehatan seseorang ( baik
jasmani, fisik, mental, soaial maupun ekonomi ) bahkan dapat menyebabkan
peningkatan angka kematian. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mencegah
serta menanggulangi bahaya dari perilaku tersebut, demi terciptanya masyarakat
yang sehat dan sejahtera.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah dalam makalah ini adalah
sebagai berikut :
1.
Deskriptif Perilaku Adiktif
2.
Tahap Penghentian Perilaku Adiktif
3.
Proses Dalam Prilaku Adiktif
4.
Kafein
5.
Rokok
6.
Minuman Beralkohol
1.3 Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah :
1.
Mengetahui Deskriptif Perilaku Adiktif
2.
Memahami Tahap Penghentian Perilaku Adiktif
3.
Memahami Proses Dalam Prilaku Adiktif
4.
Mengetahui Kafein
5.
Mengetahui Rokok
6.
Mengetahui Minuman Beralkohol
1.4 Manfaat
Manfaat dari penyusunan makalah ini
adalah sebagai tambahan referensi, pembelajaran nyata dan berharga untuk
memahami dan mengakaji konsep diri serta
sebagai sarana untuk mengaplikasikan psikologi kesehatan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Deskriptif Perilaku Adiktif
Addictive adalah kecanduan, behaviors adalah
perilaku atau tindakan. Jadi addictive behaviour adalah perilaku kecanduan. Definisi
menurut ahli hafidz, 1997 “perilaku
hasil pembiasaan “ atau perilaku hasil belajar. Contohya kecanduan merokkok, kecanduan minum,minuman
beralkohol. Faktor stimulus perilaku adiktif dibedakan menjadi dua yaitu faktor
eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal adalah pengaruh dari luar atau
lingkungan sedangkan faktor internal
adalah kecemasan, depresi, dan kebahagiaan.
Berdasarkan penelitian terakhir terdapat juga
perilaku adiktif yang bukan karena pengaruh obat. Misalnya, sekarang ada
literatur tentang kecanduan belanja ( shopaholics ), kecanduan judi, kecanduan
seks, kecanduan makanan dan latihan ketergantungan ( kecanduan olahraga ).
Ketergantungan
itu sendiri dapat berupa ketergantungan psikis (psychological dependence)
maupun ketergantungan fisiologis (physiological dependence).
Ketergantungan psikis merupakan kompulsi penggunaan zat untuk memenuhi
kebutuhan psikologis, seperti untuk menghadapi stress. Sedangkan ketergantungan
fisiologis berarti proses perubahan fungsional tubuh sedemikian rupa
dikarenakan paparan rutin terhadap zat.
Sebuah
model penyakit kecanduan tersebut akan membuat perilaku menjadi ketagihan
karena mereka menghasilkan endorfin yang menciptakan rasa gairah dan
kesenangan. Dari perspektif pembelajaran sosial, bagaimanapun, akan dikatakan
bahwa perilaku ini menjadi berlebihan karena mereka diperkuat oleh faktor-faktor
seperti suasana hati, interaksi sosial, perubahan bentuk tubuh dan keuntungan
finansial, dan dipasangkan dengan isyarat seperti teman-teman, pub, stres dan
bantuan dari stres, yang menjadi pemicu perilaku berikutnya.
Studi
kasus ini akan fokus pada ketergantungan latihan sebagai contoh kecanduan
behaviourally dipicu yang memiliki konsekuensi bagi seorang individu
kesejahteraan. Artikel awal meneliti konsep 'kecanduan olahraga', dibahas positif
terhadap kecanduan olahraga negatif dan dibahas apakah olahraga berlebihan itu
berbahaya. 'Latihan kecanduan' istilah kemudian digantikan oleh orang lain
seperti 'berjalan wajib' (Coen dan Ogles 1993), 'berjalan kompulsif' (Nash
1987), 'morbid berolahraga' (Chalmers et al. 1985) dan 'latihan ketergantungan'
( Veale 1987).
Secara umum, kecanduan olahraga berkaitan dengan
perspektif penyakit:
·
Toleransi: 'harus saya lakukan lebih dan lebih untuk
mendapatkan efek yang sama'.
Maksud toleransi disini adalah contoh
bentuk ketergantungan fisiologis, yaitu seiring bertambahnya waktu penggunaan
maka pemakaian zat berikutnya diperlukan dosis yang lebih besar dari sebelumnya
untuk mencapai efek kenikmatan yang sama. Toleransi inilah yang akan membuat
seorang perokok dan perilaku adiktif lainya, terus menambah jumlah perilaku
adiktifnya dari waktu ke waktu.
·
Gejala Penarikan: "Jika saya tidak berolahraga
saya merasa mengerikan '. Dan untuk perspektif pembelajaran sosial:
·
Merasa luar kendali: "Saya hidup untuk latihan ';
"Aku harus latihan '.
·
Interferensi dengan kehidupan sosial: "Saya
membatalkan melihat teman-teman saya, jadi saya bisa latihan '.
·
Interferensi dengan kehidupan keluarga: 'Keluarga saya
mengeluh saya berolahraga terlalu banyak'.
·
Interferensi dengan pekerjaan: 'latihan saya membuat saya
lelah di tempat kerja'.
·
perilaku stereotip: "Aku tidak harus melewatkan
sesi latihan '.
·
perilaku yang berlebihan: 'Saya berolahraga lebih dari
kebanyakan orang yang saya tahu'.
Oleh
karena itu, latihan ketergantungan (atau istilah mana yang digunakan)
menjelaskan latihan berlebihan yang berdampak pada kehidupan seseorang dan
mencerminkan perasaan berada di luar kendali.
Tiga
asumsi mendukung teori kognitif-sosial :
1. proses
belajar membutuhkan pemrosesan kognitif dan keterampilan pengambilan keputusan
dari si pemelajar.
2. belajar
adalah tiga cara relasi yang saling terkait yang terdiri dari lingkungan,
faktor personal, dan perilaku.
3. belajar
membuahkan akuisisi kode verbal dan visual dari perilaku yang mungkin akan
dilakukan atau tidak dilakukan di masa depan.
2.2 Tahap Penghentian Perilaku Adiktif
Penghentian
melibatkan pergeseran di lima tahap dasar:
1) Precontemplation
(pemikiran awal).
fase
pre-kontemplasi disebutkan merupakan tahap individu belum mau mengubah
perilakunya. Individu masih dalam tahapan “tidak peduli” dengan segala macam
teori yang ada tentang perilaku sehat. Saat fase ini walaupun individu
diberikan berbagai macam informasi kesehatan dan perubahan perilaku sehat,
tidak akan banyak mengubah persepsinya tentang kesehatan.
2) Contenplation
(memikirkan).
Individu
pada fase ini mulai menyadari adanya masalah kesehatan yang berkaitan dengan
belum berubahnya perilaku dirinya. Sayangnya individu belum ada komitmen untuk
berubah. Fase kedua ini biasanya individu mulai menyadari bahwa informasi
kesehatan yang dia terima selama ini ada benarnya juga. Saat fase ini biasanya
individu sudah mulai terbuka pikirannya.
3) Preparation
(persiapan).
Individu
dalam fase ini biasanya sudah mencoba melakukan perubahan perilaku tetapi masih
sering gagal. Contoh individu mulai mencoba berolahraga teratur namun masih
suka bolong-bolong jadwalnya. Individu mulai berhenti rokok tapi masih suka
merokok jika bertemu dengan teman-teman yang merokok. Pada fase ini individu
sudah mulai mempunyai tujuan untuk mencapai perubahan perilakunya. Fase ini
memungkinkan tindakan yang lebih lanjut dan individu bisa bertahan melakukan
perilaku sehatnya
4) Action
(tindakan).
Individu
saat fase ini sudah mampu melaksanakan perubahan perilaku dan sudah
menjalaninya dengan baik sekurangnya 6 bulan sejak usaha perubahan itu
dilakukan. Individu mulai bisa melakukan hal tersebut dengan konsisten sehingga
masuk ke fase selanjutnya yaitu fase pemeliharaan.
5) Mentenance
(pemeliharaan).
Pengentalan jangka panjang dari perubahan yang
terjadi
2.3
Proses Dalam Prilaku Adiktif
2.3.1 Pengkondisian Klasikal (
Classical Conditioning/ Respondent Conditioning )
Istilah
“ klasikal” berasal dari eksperimen “ klasik “ yang dilakukan oleh Ivan P.Pavlov ( 1849 – 1936 ). Pavlov seorang psikolog rusia yang memperkenalkan konsep
pengkondisian dan prinsip utama pengkondisian klasik. Pengkondisian klasik
disebut “ respondent conditioning” karena organisme semata – mata hanya sebagai
penerima proses pengkondisian, dengan kata lain mengontrol proses pengkondisian
adalah eksperimental. Hal utama tentang pengkondisian klasikal yaitu berupa hubungan ( asosiasi ) antara dua
stimulus, menimbulkan perilaku yang tidak disengaja/ gerak refleks.
Misalnya, respon reflek dari seekor anjing saat melihat daging di hadapannya
2.3.2 Pengkondisian Operan (
Operant Conditioning / Instrumental Conditioning )
Diteliti
oleh B.F Skinner yang menyatakan
bahwa perilaku respon merupakan respon lansung pada stimulus sedangkan perilaku
operant dikendalikan oleh akibat dari perilaku respon.
Faktor
utama pengkondisian operan adalah “ reinforcement” yaitu stimulus/ situasi yang
dapat menguatkan respon yang mncul. Proses belajar dengan pengkondisian operant
merupakan proses pengontrolan tingkah laku organisme melalui pemberian
reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan yang relatif bebas. Prinsip
belajar yang dilakukan secara bertahap seperti penyembuhan secara bertahap
perilaku homoseks. Operant
conditioning lebih kepada prilaku-prilaku yang sadar.
2.3.3 Pembelajaran Observasional (
Pengamatan )
Pembelajaran
ini diteliti oleh Albert Bandura ahli
psikologi Kanada , disebut juga modelling yaitu teknik orang yang ditiru
tingkah lakunya. A. Bandura menyatakan manusia secara semula jadi belajar
melalui proses peniruan / pengamatan yaitu dengan cara melihat orang lain.
Contohnya
: anak melihat orang tua nya merokok, sehingga dia mengikuti tindakan tersebut
2.3.4 Proses Kognitif
Proses
berorientasi pada kemampuan berfikir yang mencakup kemampuan intelektual yang
lebih sederhana, yaitu mengingat, sampai pada kemampuan memecahkan masalah
Contoh
: kemampuan seseorang dalam menyelesaikan masalahnya
2.4 Kafein
2.4.1 Pengertian Kafein
Kafein
adalah zat psikoaktif yang menyebabkan perubahan fisik dalam tubuh dan salah satu jenis alkaloid yang banyak terdapat
dalam biji kopi, daun teh dan biji coklat. zat psikoaktif adalah suatu bahan
atau zat yang bekerja secara selektif terutama pada otak sehingga dapat
menimbulkan perubahan perilaku, emosi, persepsi dan kesadaran sistem saraf
otak. Hal ini juga menjadi pusatbanyak
perilaku sosial. kopi dan teh membentuk dasar interaksi dengan teman dan keluarga serta menawarkan sarana untuk bersantai sejenak saat sibuk kerja.
.
Kafein
adalah zat adiktif yang hasil penggunaan yang berulang dalam ketergantungan
fisik yang mengarah ke perilaku, fisiologis dan subjektif. Gejala penarikan
seperti kantuk, lesu, sakit kepala dan penurunan kinerja psikomotor, termasuk
konsentrasi dan waktu reaksi. Penggunaan kafein memiliki dua implikasi penting
bagi kesehatan. Pertama, orang yang termotivasi untuk menggunakan kafein
melalui manfaat yang diharapkan kinerja dan yang kedua meningkatkan suasana
hati.
2.4.2
Dampak
positif kafein pada kesehatan
@ Obat
sakit kepala: Kafein dapat meredakan sakit kepala dengan cara melebarkan
pembuluh darah otak yang menyempit.
@ Meringankan
asma: Kafein bisa melegakan napas penderita asma dengan memperluas saluran
bronkial yang menghubungkan kerongkongan dengan paru-paru.
@ Membantu
konsentrasi: Kafein dapat membantu meningkatkan konsentrasi dengan merangsang
otak, bahkan diharapkan dapat meningkatkan memori jangka panjang.
@ Meningkatkan
daya tahan tubuh: Kafein dapat membuat tubuh tidak cepat lelah, di perkirakan
karena kafein membuat "bahan bakar" yang digunakan oleh otot-otot
lebih lama.
@ Mengurangi
risiko penyakit Alzheimer: Alzheimer ditandai dengan penurunan
asetilkolin. Kafein dapat menghambat aktivitas enzim acetylcholinesterase
(AChE), yang memecah bahan kimia atau neurotransmiter dan
asetilkolin. Selain kopi, kafein juga menghambat aktivitas enzim
butyrylcholinesterase (Buche), yang ditemukan dalam deposit protein pada otak
penderita Alzheimer.
@ Mengurangi
risiko penyakit Parkinson: Kafein dapat memperlambat dan melawan kepikunan.
2.4.3
Dampak
kafein negatif pada kesehatan
@ Penyakit
Jantung: Sebelum Anda minum, kopi disaring terlebih dahulu. Penyaringan
dapat menghilangkan zat-zat yang bisa menghilangkan kadar LDL (low-density
lipoprotein) jenis kolesterol jahat.
@ Hipertensi
dan Darah Gangguan Kapal: Kafein bekerja sebagai stimulan
(perangsang). Jadi orang-orang yang sensitif, kafein bisa menyebabkan
palpitasi jantung (aritmia) atau tekanan darah meningkat, meskipun sedikit dan
temporer. Orang dengan tekanan darah yang tinggi dan kondisi jantung lainnya,
harus berkonsultasi dengan dokter Anda jika Anda ingin minum kopi.
@ Kehamilan:
Kafein dapat meningkatkan denyut jantung dan metabolisme dalam tubuh ibu, yang
dapat terjadi sebagai akibat dari stres yang mengganggu perkembangan
janin. Kafein mempengaruhi janin karena kafein dapat melewati plasenta dan
dapat masuk ke sirkulasi janin. Dampaknya keguguran. Satu studi
menemukan bahwa setidaknya dua cangkir setiap hari dapat melipatgandakan risiko
keguguran. Sebuah studi oleh McGill Universitas Montreal menunjukkan
hubungan antara konsumsi kafein dan keguguran.
@ Keracunan
kafein: Terlalu banyak kafein dapat menyebabkan keracunan (intoksikasi) kafein
(yang tinggi pada kafein). Gejala penyakit ini adalah termasuk
kegelisahan, kecemasan, insomnia, keceriaan, pembilasan, sering buang air kecil
(diuresis), dan masalah gastrointestinal.
@ Gangguan
lain: Kafein menyebabkan insomnia dan kecemasan meningkat, serangan panik
memburuk pada pasien dengan panik. Kafein juga meningkatkan produksi asam
lambung sehingga memperparah mulas dan sakit perut.
2.4.4 Efek kafein dalam jangka
pendek
Kafein
sampai di jaringan dalam waktu 5 menit dan tahap puncak mencapai darah dalam
waktu 50 menit. Kafein juga dapat merangsang otak (7,5-150 mg) dapat
meningkatkan aktifitas neural dalam otak serta mengurangi keletihan, dan dapat
memperlambat waktu tidur.
2.4.5 Efek kafein dalam jangka
panjang
Pemakaian
lebih dari 650mg dapat menyebabkan insomnia kronik, gelisah, dan ulkus. Efek
lain dapat meningkatkan denyut jantung dan berisiko terhadap penumpukan
kolesterol.Mereka yang mengonsumsi kafein cenderung memegang dua harapan utama
bagaimana obat akan mempengaruhi mereka. Pertama, mereka percaya bahwa kafein
meningkatkan suasana hati mereka, dan kedua mereka percaya akan meningkatkan
kinerja mereka.
2.4.6 Cara Mengurangi Penggunaan
Kafein
Potensi ketergantungan membuat
kafein disamakan dengan zat-zat adiktif lainnya. Seorang peminum kopi yang
menghentikan kebiasaan minum kopi dapat mengalami “caffeine withdrawal” yang
ditandai oleh sakit kepala berdenyut, namun gejala ini akan hilang setelah
24-48 jam. Agar Anda tidak merasa tersiksa, coba ikuti cara mengurangi
kebiasaan mengonsumsi kafein berikut ini:
1. Kurangi 25 persen setiap minggu,
salah satu cara termudah untuk mulai mengurangi kafein adalah dengan
menguranginya setahap demi setahap.
2. Cemilan sehat
3. Banyak minum air putih
4. Tiduran, tak ada cara lain untuk
mengatasi kantuk (bila itu alasan Anda minum kopi), selain dengan tiduran
sebentar.
2.4.7 Mengonsumsi Kafein Sebagai
Perilaku Adiktif
Kafein jelas
memiliki sifat psikoaktif dan bertindak sebagai obat pada tubuh kita.
Orang-orang termotivasi untuk menggunakan kafein untuk kinerja dan suasana hati
mereka, tetapi penelitian menunjukkan bahwa manfaat ini sebenarnya hanya
kompensasi untuk efek negatif dari gejala yang akan ditimbulkan. Namun, kafein
juga merupakan perilaku yang dipelajari untuk mengasosiasikan kopi dengan
interaksi sosial, sebagai alasan untuk percakapan ('pergi keluar untuk minum
kopi'). Mereka juga memiliki harapan positif berdasarkan pengalaman mereka
sebelumnya. Pembelajaran kafein juga melalui pembelajaran asosiatif, penguatan
dan modeling.
2.5 Rokok
2.5.1 Pengertian Perilaku Merokok
Perilaku
merokok adalah perilaku yang membahayakan kesehatan baik bagi perokok sendiri
maupun orang lain yang kebetulan menghisap asap rokok tersebut (Komalasari
& Helmi, 2000). Menurut Aula (2010) perilaku merokok merupakan suatu
fonomena yang muncul dalam masyarakat, dimana sebagian besar masyarakat sudah
mengetahui dampak negatif merokok, namun bersikeras menghalalkan tindakan
merokok.
Ditemui orang merokok dimana-mana,
baik rumah dikantor, dipasar ataupun tempat umum
lainnya. Mulai merokok
terjadi akibat pengaruh lingkungan social. Modelling (meniru perilaku orang
lain) menjadi salah satu determinan dalam memulai perilaku merokok (Sarafino,
1994). Tembakau membunuh lebih setengah penggunanya, hampir 6 juta orang
pertahun, diantaranya 5 juta orang perokok dan mantan perokok, serta 600.000
orang bukan perokok yang terpapar asap rokok. Bila tidak dilakukan tindakan
pengendalian, kematian akan meningkat cepat menjadi lebih 8 juta orang pada
tahun 2030. Tembakau merupakan peringkat utama penyebab kematian yang
sebenarnya dapat dicegah
2.5.2 Zat Yang Terkandung Dalam
Rokok
Umumnya
kita tidak menyadari bahwa didalam sebatang rokok terkandung 4000 jenis senyawa
kimia, dengan 3 komponen utama yaitu : 1) Nikotin, adalah zat berbahaya yang
menyebabkan kecanduan (adiktif), 2) Tar, adalah zat berbahaya yang menyebabkan
kanker (karsinogenik), 3) Karbon Monoksida (CO), adalah salah satu gas beracun
yang menurunkan kandungan oksigen dalam darah.Sebanyak 400 jenis diantaranya
adalah termasuk zat berbahaya dan 43 jenis yang tergolong karsinogenik (zat
penyebab kanker).
2.5.3 Dampak Negatif
Doll
dan Hill (1954) melaporkan
bahwa merokok berhubungan dengan
kanker paru-paru. Sejak itu, merokok juga telah terlibat
dalam penyakit jantung koroner (PJK)
dan banyak kanker
lain seperti tenggorokan, perut dan usus. Rata-rata
perokok meninggal 8 tahun lebih awal dan mulai menderita cacat 12 tahun lebih
awal, sementara seperempat dari perokok yang gagal menghentikan mati rata-rata
23 tahun lebih awal (Barat dan Shiffman 2004).
Merokok
pada masa remaja juga telah ditemukan memiliki efek yang lebih langsung dan terkait dengan
sesak napas, asma, tekanan darah tinggi dan
peningkatan jumlah infeksi saluran
pernapasan (American Lung
Association 2002a, 2002b). Ada juga telah tertarik
pada perokok pasif dan penelitian
menunjukkan hubungan antara perokok pasif dan kanker
paru-paru pada orang dewasa, dan
kesehatan yang buruk pernafasan pada
anak-anak (US Environmental Protection Agency 1992).
Ketika seseorang tidak
merokok maka terjadi gejala putus nikotin seperti: rasa tidak nyaman, sulit
konsentrasi, mudah marah sehingga untuk mempertahankan rasa nyamannya, timbul
dorongan untuk merokok kembali. Inilah yang disebut kecanduan/ketagihan
2.5.4
Dampak positif
Hanya
ada sedikit efek kesehatan yang positif dari merokok.
Ia telah mengemukakan bahwa perokok
melaporkan efek mood positif dari merokok dan
merokok yang dapat membantu individu
untuk mengatasi keadaan sulit.
2.5.5 Intervensi Kesehatan
Masyarakat
Mempromosikan
penghentian dalam populasi Intervensi kesehatan masyarakat bertujuan untuk
mempromosikan perubahan perilaku pada populasi dantelah menjadi semakin populer
selama beberapa tahun terakhir. Intervensi tersebut ditujukan untuk semua
individu, bukan hanya mereka yang mencari bantuan. Untuk berhenti merokok,
mereka mengambil bentuk saran dokter, intervensi tempat kerja, pendekatan
masyarakat luas dan intervensi pemerintah. Untuk perilaku minum, sebagian besar
intervensi kesehatan masyarakat berupa intervensi pemerintah.
1.Saran
Dokter
Sekitar 70 persen dari perokok akan
mengunjungi dokter di beberapa titik setiap tahun. Penelitian menunjukkan bahwa
rekomendasi dari dokter, yang dianggap sebagai sumber informasi yang kredibel,
bisa sangat sukses dalam mempromosikan berhenti merokok. Dalam sebuah studi
klasik yang dilakukan dalam lima praktek umum di London (Russell et al 1979). Perokok
mengunjungi dokter umum mereka selama empat minggu yang dialokasikan untuk
salah satu dari empat kelompok:
(1) tindak lanjut saja;
(2) kuesioner tentang
perilaku merokok mereka dan tindak lanjut;
(3) saran dokter untuk
berhenti merokok, kuesioner tentang perilaku merokok mereka dan tindak lanjut;
dan
(4) nasihat dokter
untuk berhenti merokok, leaflet memberikan tips tentang cara untuk berhenti dan
tindak lanjut.
2.Program Berbasis Masyarakat
Program berbasis komunitas besar
telah ditetapkan sebagai sarana mempromosikan berhenti merokok dalam kelompok
besar individu.Program-program tersebut bertujuan untuk mencapai orang-orang
yang tidak akan menghadiri klinik dan menggunakan motivasi kelompok dan
dukungan sosial dengan cara yang mirip dengan tempat kerja intervensi. Program
berbasis masyarakat awal adalah bagian dari dorongan untuk mengurangi penyakit
jantung koroner. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan penurunan persen
per 24 kematian kardiovaskular, tingkat dua kali lipat dari seluruh negara (Puskaetal.1985).
3. Intervensi Pemerintah.
Sarana tambahan untuk mempromosikan
berhenti merokok dan minum yang sehat adalah untuk mendorong pemerintah untuk
campur tangan. Intervensi tersebut dapat mengambil beberapa bentuk:
a)
Membatasi / melarang iklan.
Menurut teori
belajar sosial, kita belajar untuk merokok dan minum dengan mengaitkan merokok
dan minum dengan karakteristik yang menarik, seperti 'Ini akan membantu saya
rileks', 'Itu membuat saya terlihat. canggih', 'Itu membuat saya terlihat
seksi', 'Ini adalah berisiko '. Iklan bertujuan untuk mengakses dan
mempromosikan keyakinan ini dalam rangka mendorong merokok dan minum.
Menerapkan larangan / pembatasan iklan akan menghapus sumber ini keyakinan. Di
Inggris, iklan rokok dilarang pada tahun 2003.
b)
Meningkatkan biaya.
Penelitian
menunjukkan hubungan antara biaya rokok dan alkohol dan konsumsi mereka.
Peningkatan harga rokok dan alkohol bisa meningkatkan merokok dan minum
penghentian dan mencegah inisiasi perilaku ini, khususnya di kalangan
anak-anak. Menurut model kepercayaan kesehatan, hal ini akan memberikan
kontribusi pada biaya yang dirasakan dari perilaku dan manfaat yang dirasakan
dari perubahan perilaku.
c)
Melarang merokok di tempat umum.
Merokok sudah
terbatas pada tempat-tempat tertentu di banyak negara. Pada tahun 2007 larangan
merokok diberlakukan di Inggris dan sekarang merokok dibatasi baik untuk di
luar ruangan atau swasta tempat. Larangan serupa di tempat di Amerika Serikat,
Irlandia dan Italia Larangan luas merokok dapat mempromosikan berhenti merokok.
Menurut teori belajar sosial, hal ini akan mengakibatkan isyarat untuk merokok
(misalnya restoran, bar) menjadi akhirnya memisahkan diri dari merokok.
2.5.6 Proses Psikologis dan Sosial
yang Dapat Meningkatkan Perilaku Merokok
Dalam upaya untuk memahami inisiasi
dan pemeliharaan merokok, para peneliti telah mencari proses psikologis dan
sosial yang dapat meningkatkan perilaku merokok dengan fokus pada kognisi dan
norma-norma sosial.
KOGNISI
Kognisi yang memprediksi
perilaku merokok termasuk bergaul merokok dengan menyenangkan dan kesenangan,
merokok sebagai sarana menenangkan saraf dan merokok sebagai bersosialisasi dan
membangun kepercayaan diri, yang semuanya telah dilaporkan oleh perokok
Penelitian juga menyoroti peran diri dan persepsi kemudahan merokok.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa merokok inisiasi diperkirakan oleh niat awal. Asosiasi ini
antara niat dan perilaku hanya hadir, namun, pada mereka yang tidak
mengekspresikan penyesalan tentang memulai merokok pada awal dan yang
menunjukkan niat yang stabil. Dalam hal pemeliharaan merokok, Lawton et al.
NORMA SOSIAL
Banyak
penelitian berfokus pada individu dan membawa mereka keluar dari konteks sosial
mereka. Interaksi dengan bantuan dunia sosial untuk menciptakan dan
mengembangkan keyakinan dan perilaku anak.
Faktor utama
yang memprediksi merokok adalah merokok orangtua, dengan laporan bahwa
anak-anak dua kali lebih mungkin untuk merokok jika orang tua mereka merokok
(Lader dan Matheson 1991). Selain itu, sikap orang tua untuk merokok juga
mempengaruhi perilaku anak mereka. Sebagai contoh, jika seorang anak merasakan
orang tua sebagai kuat terhadap merokok, dia adalah sampai dengan seventimes
kurang mungkin perokok (Murray et al. 1984). Selanjutnya pengaruh yang paling
penting pada merokok tekanan peer group. Mercken et al. (2011) mengeksplorasi
keyakinan dan perilaku dari 1.475 remaja Belanda dan menyimpulkan bahwa
perilaku merokok mereka diprediksi oleh orangtua, saudara dan teman merokok.
2.5.7 Grafik
Perokok Di Indonesia
Rokok menyebabkan
lebih dari 80% laki-laki dan hampir 50% perempuan meninggal karena kanker
paru-paru. Perokok pasif diperkirakan menyebabkan kematian sekitar 600.000
kematian dini setiap tahunnya di dunia.
PREVALENSI MEROKOK
UNTUK SEMUA KELOMPOK
Data Susenas Data Riskesdas
Berdasarkan grafik diatas terlihat bahwa
prevalensi merokok di Indonesia sangat tinggi di berbaga lapisan masyarakat,
terutama pada laki-laki mulai dari anak-anak, ramaja dan dewasa. Kecenderungan
merokok terus meningkat dari tahun ke tahun baik pada laki-laki dan perempuan,
hal ini mengkhawatirkan kita semua. Data Susenas dan Riskesdas menunjukkan
bahwa prevalensi merokok untuk semua kelompok umur mengalami lonjakan. Semakin
meningkatnya angka perokok di Indonesia juga menunjukan semakin meningkatnya
angka kematian akibat Penyakit Tidak Menular ( PTM ) kususnya karena merokok.
Data tahun 1995, 2001, 2004 adalah data Susenas seperti tampak
pada 9 (sembilan) grafik sebelah kiri sedangkan data tahun 2007 dan 2010 adalah
data Riskesdas. Data Riskesdas tahun 2010 menunjukkan prevalensi perokok 16
kali lebih tinggi pada laki-laki (65,9%) dibandingkan perempuan (4,2%). Data
susenas tahun 1995 menunjukan prevalensi perokok terendah dengan laki – laki
53,4% dan perempuan 1,7%.
TREND USIA MULAI
MEROKOK MENINGKAT (10-14 TAHUN)
Grafik diatas menunjukkan perbandingan
data pada Susenas tahun 2001 dengan Riskesdas tahun 2010. Pada grafik usia
10-14 tahun menunjukkan terjadi peningkatan tajam, dimana pada grafik berwarna
biru (Susenas tahun 2001) sebesar 9,5% dan pada grafik berwarna merah muda
(Riskesdas 2010) meningkat menjadi 17,5%. Peningkatan ini kurang lebih sebesar
80%
Jumlah
perokok
tertinggi terjadi
dikalangan remaja pada usia 15 – 19 tahun dimana pada tahun 2001
yaitu 58,9% dan 2010 yaitu 43,5%, meskipun telah mengetahui dampak buruk rokok bagi kesehatan.
Dari data tersebut juga terlihat usia mulai merokok sudah ada pada usia 5 – 9
tahun dan mulai meningkat pada usia 10 – 14 tahun.
2.6 Minuman Alkohol
2.6.1
Pengertian Alkohol
Alkohol
adalah zat psikoatif yang bersifat adiktif. Zat psikoatif adalah golongan zat
yang bekerja secara selektif, terutama pada otak, yang dapat menimbulkan perubahan
pada perilaku, emosi, kognitif, persepsi, dan kesadaran seseorang. Sedangkan
adiksi atau adiktif adalah suatu keadaan kecanduan atau ketergantungan terhadap
jenis zat tertentu. Seseorang yang menggunakan alkohol mempunyai rentang
responyang tidak stabil dari kondisi yang ringan sampai berat.(Teguh Pribadi,
2009).
Alkoholik ialah orang
yang bermasalah berupa biasa minum-minuman beralkohol, sehingga kebiasaannya
itu merugikan atau mengganggu penyesuaian dirinya dari segi kesehatan, hubungan
dengan orang lain dan pelaksanaan tugas atau pekerjaan sehari-hari. Alcoholism adalah ketergantungan
pada alkohol yang mempengaruhi adjustment dalam hidup. Alkohol merupakan jenis
depresan atau penenang yang menyerang dan menumpulkan pusat-pusat penting di
dalam otak, sehingga penilaian dan proses-proses rasional lainnya dalam diri
seorang alkoholik menjadi terganggu disamping kontrol dirinya pun menjadi
lemah. Nama yang populer alkohol di Indonesia untuk konsumsi adalah miras,
kamput, topi miring, raja jemblung, cap tikus, balo, dan lain sebagainya.
2.6.2
Dampak Positif dan Negatif Alkohol
Dampak
Negatif :
Konsumsi
alkohol memiliki banyak efek negatif pada kesehatan. Sebagai contoh,
alkoholisme meningkatkan kemungkinan gangguan seperti sirosis hati, kanker
(misalnya pankreas dan hati), hipertensi dan defisit memori (Putih et al.
2002). Alkohol juga meningkatkan kemungkinan bahaya melalui kecelakaan mobil,
kecelakaan non-lalu lintas, kecelakaan jatuh, kekerasan dan seks yang tidak
aman.
Dampak
positif :
·
Wine
Dengan
dosis segelas anggur per hari,bagi para wanita, wine dapat menaikkan estrogen,
yg memperlambat kerusakan tulang serta mengurangi resiko mati muda hingga 33%.
Sedangkan bagi para pria,wine mampu mengurangi resiko terjadinya kanker
prostat.
·
Beer
Bir
umumnya dibuat dari gandum yg difermentasikan dan dapat mengurangi resiko
penyakit jantung.sedangkan bir beralkohol rendah dapat digunakan sebagai anti
kanker bila diminum secara teratur.
·
Arak/ tuak
Minuman
keras ini memiliki kadar alkohol yang cukup tinggi. Tuak berkhasiat menyehatkan
badan karena mengandung efek menghangatkan tubuh
2.6.3 Alkohol Menghasilkan Efek
Jangka Pendek Dan Efek Jangka Panjang
Alkohol memiliki efek jangka pendek
dan panjang yang bervariasi bagi manusia, mulai dari berkurangnya kemampuan
menilai dan koordinasi motorik dan konsekuensinya yang mengerikan, hingga
kecanduan, yang membuat kehidupan normal dan produktif tidak mungkin lagi
dijalani dan sangat sulit diatasi. Alkohol dapat menyebabkan kondisi blackouts
atau hilang kesadaran dan hangover, suatu kondisi ringan withdrawal
yang berupa sakit kepala. Kebiasaan minum kronis dalam waktu lama menimbulkan
kerusakan biologis parah, terutama pada organ hati, serta kemunduran
psikologis.
Adapun efek yang terjadi di otak
antara lain adalah meningkatnya stimulasi seksual. Selain itu, alkohol dapat
menyebabkan rusaknya fungsi darah putih memerangi penyakit sehingga memberi
peluang timbulnya kanker. Alkohol menghambat berbagai reseptor glutamate yang
dapat menimbulkan efek kognitif intoksikasi (keracunan) alkohol, seperti
berbicara dengan tidak jelas dan hilangnya memori. Pada mahasiswa,
penyalahgunaan alkohol ini dapat menyebabkan kelemahan dalam berbagai tes
neuropsikologis.
2.6.4 Faktor Penyebab
Orang yang
menjadi penyalahguna atau ketergantungan alkohol harus mempunyai sikap positif
terhadap obat tersebut, kemudian mulai bereksperimen dengan menggunakannya,
mulai menggunakan secara teratur, menggunakannya secara berlebihan dan
menyalahgunakannya atau menjadi tergantung secara fisik padanya. Setelah
menggunakan secara berlebihan dalam waktu lama, orang yang bersangkutan akan
terikat oleh proses biologis toleransi dan putus zat.
- Variabel Sosiokultural
Pengaruh teman sebaya, orang tua, media dan jenis
perilaku yang dianggap pantas dalam suatu budaya tertentu, lingkungan sosial,
dapat mempengaruhi ketertarikan dan akses seseorang pada obat-obatan. Individu
memiliki kecenderungan menyalahgunakan zat pada kenyataannya memilih jaringan
sosial yang sesuai dengan pola minum atau penggunaan obat mereka. Individu pun
seringkali lebih memilih jaringan sosial yang memiliki pola minum yang sama
dengan mereka. Jaringan sosial seseorang memprediksi kebiasaan minum
individual, namun kebiasaan minum individual juga memprediksi kebiasaan minum
jaringan sosial.
- Variabel Psikologis
Perubahan mood terkait pengaruh alkohol. Berbagai
temuan mengindikasikan bahwa alkohol dapat menghasilkan efek mengurangi
ketegangan dengan mengubah kognisi dan persepsi. Alkohol melemahkan proses
kognitif dan menyempitkan perhatian ke berbagai kejadian yang paling segera
terlihat, mengakibatkan myopia alkohol yaitu orang yang terintoksikasi
mengalami penurunan kemampuan kognisi untuk mendistribusikan perhatian antara
aktivitas yang sedang berlangsung dan kekhawatiran. Jika terdapat aktivitas
pengalih perhatian, perhatian akan beralih ke aktivitas tersebut dan bukan pada
pikiran-pikiran yang menimbulkan kekhawatiran sehingga mengakibatkan
berkurangnya kecemasan.
- Variabel Biologis
Secara
biologis, metabolisme sel orang yang tergantung pada alkohol telah beradaptasi
dengan kehadiran alkohol di dalam darah, sehingga kini justru menuntutnya. Data
mengindikasikan bahwa permasalahan minum pada manusia menurun dalam keluarga,
menunjukkan adanya komponen genetik. Kemampuan untuk menoleransi alkohol dapat
merupakan sesuatu yang diturunkan dalam keluarga sebagai suatu diathesis bagi
penyalahgunaan atau ketergantungan alkohol. Beberapa kelompok etnis, seperti
orang-orang Asia, dapat memiliki tingkat penyalahgunaan alkohol yang rendah
karena adanya intoleransi fisiologis, yang disebabkan oleh kekurangan enzim
yang mencerna alkohol yang bersifat keturunan. Dari temuan yang didapat,
biasanya penyalahgunaan alkohol lebih mungkin terjadi pada mereka yang tidak
mudah terpengaruh oleh alkohol.
2.6.5 Pandangan Teori Psikologi ( Pandangan Behavioral Psikologi dan Penghargaan Biokimia
)
Secara tradisonal, behaviorist
memandang ketergantungan alkohol sama dengan kebiasaan kuat yang terus bertahan
oleh berbagai hal yang terdahulu dan memperkuat akibatnya. Beberapa anggapan
telah ditawarkan seperti untuk apa kunci penguatan, perjanjian sosial,
kemampuan untuk terlibat berperilaku sosial santai, menghindari gejala
psikologi penarikan diri, atau pengurangan tegangan psikologis. Dalam proses
pengurangan ketidaknyamanan psikologis, beberapa dari kita mengambil jalan dengan
minum, dan jika hal itu bekerja efektif, maka selanjutnya akohol menjadi
sesuatu hal yang disukai dan dilakukan berulang-ulang. Secepatnya, tentu saja,
minum berlebihan mungkin membuat dirinya jauh lebih stress, terutama rasa
bersalah, diaman untuk mengurangi perasaan itu dengan cara minum lebih banyak
lagi.
2.6.6 Pencegahan
- Prevensi Primer:
Mempelajari munculnya penyebab
gangguan dengan cara mengumpulkan informasi yang dapat digunakan atau dengan
cara mengikuti penyuluhan tentang gangguan tersebut.
- Prevensi sekunder:
Menekankan
pada deteksi dini dan treatment yang tepat terhadap tingkahlaku
maladaptif. Contohnya; Menangani Masalah
Mengakui bahwa ia memiliki masalah minum yang serius
dapat dirasa terlalu terang-terangan bagi seseorang yang tidak pernah minum
berlebihan atau tidak pernah mengenal seseorang yang demikian. Langkah pertama
menuju keadaan yang lebih baik disebut tahap kontemplasi, tahap tersebut dapat
dilakukan dengan memberikan pertanyaan yang menyentuh isu tersebut secara tidak
langsung. Contohnya, “Apakah terkadang Anda merasa tidak nyaman jika tidak
tersedia alkohol? Apakah terkadang Anda merasa bersalah atas kebiasaan minum
Anda?” dan sebagainya. Setelah penyalahguna alkohol mengakui bahwa ia memiliki
masalah, lakukan pendekatan penangan yang dapat diberikan.
- Prevensi Tersier:
Prevensi ini untuk mengurangi dampak
gangguan dan mengembalikan individu agar mampu berfungsi secara normal.
Contohnya;
1. Penanganan Biologis
Penanganan
biologis paling baik dan dapat memberikan manfaat bila dikombinasikan dengan
suatu intervensi psikologis. Saat ini terdapat terapi yang mencakup kombinasi
terapi obat dan psikoterapi maupun kombinasi beberapa obat yang berbeda.
Beberapa peminum bermasalah yang sedang dalam penanganan menggunakan dsulfiram
atau antabuse, yaitu obat yang mencegah minum dengan cara menyebabkan
muntah-muntah hebat jika alkohol diminum. Obat tersebut menghambat metabolisme
alkohol sehingga tercipta produk sampingan yang sangat tidak mengenakan.
Kepatuhan terhadap pengobatan Antabuse menjadi suatu masalah. Penyalahguna
alkohol harus memiliki komitmen kuat untuk berubah sehingga kemungkinan besar
frekuensi minum akan berkurang karena efek negatif yang terjadi ketika seseorang
meminum alkohol. Antabuse dapat menimbulkan efek samping yang serius, seperti
peradangan jaringan saraf. Adapun Buspiron yang bekerja menghambat serotonin
cukup memiliki manfaat terapeutik dalam penanganan ketergantungan alkohol.
Klonidin juga mampu mengurangi aktivitas noradrenergik di dalam otak, cukup
bermanfaat untuk mengurangi efek penghentian dari beberapa obat, termasuk
alkohol. Fluoksetin menghasilkan perbaikan kondisi depresi dan mengurangi minum
di kalangan penyalahguna alkohol yang juga mengalami depresi.
Meskipun tidak secara khusus
ditergetkan untuk mengatasi masalah minum berlebihan, beberapa obat psikoaktif
tertentu biasa digunakan untuk menangani berbagai masalah yang berhubungan
dengan kebiasaan minum. Oleh karena itu, antidepresan dapat digunakan untuk
pengobatan depresi dan anti kecemasan untuk kecemasan. Dengan menghasilkan
perbaikan masalah emosional yang sering kali dihubungkan dengan permasalahan
minum, obat-obatan tersebut dapat memberikan dampak menguntungkan dalam
penanganan ketergantungan dan penyalahgunaan alkohol.
2. Alcoholics Anonymous
Kelompok terapi mandiri terbesar dan
paling terkenal di seluruh dunia yang didirikan tahun 1935 oleh dua orang
mantan pencandu alkohol. Alcoholic Anonymous (AA) melakukan pertemuan
secara rutin dan sering dimana para anggota baru berdiri untuk memberitahukan
bahwa mereka adalah seorang alkoholik, dan para anggota lama yang sudah sembuh
memberikan kesaksian mengenai masalah ketergantungan alkohol yang pernah mereka
alami dan menyampaikan bagaimana kehidupan mereka saat ini telah menjadi lebih
baik.
Kelompok tersebut memberikan dukungan
emosional, pengertian, dan konseling dekat bagi peminum bermasalah serta
kehidupan sosial agar terlepas dari pengisolasian diri. Para anggota AA
didorong untuk saling menelepon satu sama lain kapanpun mereka membutuhkan
teman dan dorongan untuk tidak kembali minum. Kepada setiap anggota AA
ditanamkan keyakinan bahwa penyalahgunaan alkohol merupakan penyakit yang tidak
pernah dapat disembuhkan, dan diperlukan kewaspadaan yang terus-menerus agar
dapat menahan diri untuk tidak minum walaupun hanya sekali karena bila terjadi
demikian, kebiasaan minum yang tidak terkendali akan berulang kembali.
3. Terapi Pasangan dan Keluarga
Terapi perkawinan atau pasangan yang
berorientasi perilaku diketahui telah berhasil mengurangi permasalahan minum
serta cukup mengurangi penderitaan pasangan secara umum. Terapi ini dihubungkan
dengan berkurangnya kekerasan dalam rumah tangga. Salah satu fokus terapi ini
adalah melibatkan pasangannya untuk membantu peminum meminum Antabuse secara
teratur. Pentingnya dukungan pasangan dalam upaya peminum bermasalah untuk
mengatasi berbagai stress yang tidak terhindarkan dalam hidup tidak boleh
diremehkan.
4. Penanganan Kognitif dan Perilaku
Terapi kognitif dan behavioral
merupakan penanganan psikologis yang paling efektif bagi penyalahgunaan
alkohol. Terapi aversi yaitu terapi seorang penyalahguna alkohol dengan cara
dikejutkan atau dibuat menjadi mual ketika melihat, meraih, atau mulai minum alkohol.
Dalam satu prosedur yang disebut sensitisasi tertutup, penyalahguna alkohol
diinstruksikan untuk membayangkan dirinya mengalami mual yang hebat dan luar
biasa karena minum alkohol. Terapi ini sedikit lebih efektif disbanding rawat
inap. Terapi ini jika benar-benar digunakan, tampaknya paling baik diterapkan
dalam konteks program berbasis luas yang mencakup penanganan terhadap berbagai
situasi kehidupan tertentu dari pasien yang seringkali dihubungkan dengan
penyalahguna alkohol.
Contoh Kasus
Alice, 54
tahun. Ketika keluarganya akhirnya membujuknya untuk berobat ke klinik
rehabilitasi alkohol. Ia jatuh terguling tangga kamar tidurnya saat dalam
keadaan mabuk, dan mungkin kejadian tersebut yang akhirnya membuatnya mengakui
bahwa ada yang salah dengan dirinya. Kebiasaan minumnya menjadi tidak
terkendali selama beberapa tahun terakhir. Ia mengawali hari dengan minum,
berlanjut sepanjang pagi, dan pada siang hari ia berada dalam kondisi mabuk
total. Ia jarang ingat tentang berbagai hal yang terjadi selepas tengah hari.
Sejak awal masa dewasa ia minum secara rutin, namun jarang pada siang hari dan
tidak pernah sampai mabuk. Kematian suaminya secara mendadak dalam sebuah
kecelakaan mobil dua tahun sebelumnya telah memicu peningkatan frekuensi
minumnya, dan dalam enam bulan kebiasaan minumnya telah berubah menjadi pola
penyalahgunaan alkohol yang parah. Ia tidak memiliki keinginan untuk keluar
rumah dan berhenti melakukan berbagai aktivitas social dengan keluarga dan
teman-temannya. Upaya yang berulang kali dilakukan keluarganya untuk membuatnya
membatasi konsumsi alkohol hanya memicu pertengkaran.
2.6.7
Perubahan Sejarah
2.6.7.1
Abad Ketujuh Belas Dan Model Moral Kecanduan
Selama
abad ketujuh belas, alkohol umumnya dijunjung
tinggi oleh masyarakat. Ini dianggap sebagai lebih
aman daripada air, bergizi,
dan pemilik penginapan itu dinilai sebagai tokoh
sentral dalam masyarakat. Selain
itu, saat ini manusia dianggap terpisah dari alam,
dalam hal memiliki jiwa dan kemauan
dan bertanggung jawab atas perilaku mereka
sendiri. Perilaku hewan dilihat sebagai akibat dari
drive biologis, sedangkan
perilaku manusia dipandang
sebagai hasil dari pilihan bebas mereka sendiri. Dengan demikian, konsumsi alkohol dianggap sebagai perilaku yang dapat diterima,
namun penggunaan alkohol yang berlebihan dianggap sebagai hasil dari pilihan bebas dan tanggung jawab pribadi.
Oleh
karena alkoholisme dipandang sebagai perilaku yang pantas hukuman, bukan
pengobatan; pecandu alkohol dianggap sebagai memilih untuk bersikap berlebihan.
Model kecanduan disebut model moral. Perspektif ini mirip dengan argumen yang
didukung oleh Thomas Szasz pada tahun 1960 mengenai perlakuan terhadap hukuman
individu yang sakit mental dan perbedaan di antara menjadi 'gila' atau 'buruk'.
Szasz (1961) mengemukakan bahwa untuk label seseorang gila ', dan memperlakukan
mereka, dihapus segi tengah umat manusia, yaitu tanggung jawab pribadi. Ia
mengusulkan bahwa individu memegang bertanggung jawab atas perilaku mereka
memberi mereka kembali rasa tanggung jawab bahkan jika ini mengakibatkan mereka
dilihat sebagai 'buruk'. Demikian pula, model moral kecanduan alkohol dianggap
telah memilih untuk bersikap berlebihan dan karena itu pantas dihukum (mengakui
tanggung jawab mereka), bukan pengobatan (menyangkal tanggung jawab mereka).
Akibatnya, sikap sosial kontemporer tercermin dalam teori kontemporer.
2.6.7.2 Abad Kesembilan Belas Dan Konsep Penyakit Pertama
Selama abad
kesembilan belas, sikap terhadap kecanduan, dan alkohol
tertentu, berubah. Gerakan kesederhanaan dikembangkan dan menyebarkan berita tentang kejahatan minuman. Alkohol
dianggap sebagai zat yang kuat dan merusak
dan pecandu alkohol dipandang
sebagai korbannya. Perspektif ini
juga tercermin dalam larangan dan larangan konsumsi alkohol di Amerika Serikat. Selama ini, konsep penyakit pertama
kecanduan dikembangkan. Ini adalah bentuk paling awal dari pendekatan biomedis
kecanduan dan dianggap
alkoholisme sebagai penyakit. Dalam model ini, fokus
untuk penyakit itu substansi. Alkohol dipandang
sebagai zat adiktif, dan pecandu alkohol dipandang sebagai pasif mengalah pengaruhnya.
Konsep penyakit pertama
dianggap sebagai substansi
masalah dan menyerukan pengobatan peminum yang
berlebihan. Sekali lagi, sikap
sosial untuk kecanduan yang tercermin dalam
pengembangan teori.
2.6.7.3 Abad
Kedua Puluh Dan Konsep Penyakit Kedua
Sikap
terhadap kecanduan berubah lagi pada awal abad kedua puluh. Amerika Serikat
belajar dengan cepat bahwa pelarangan konsumsi alkohol lebih bermasalah dari
yang diharapkan, dan pemerintah di seluruh dunia barat menyadari bahwa mereka
secara finansial dapat memperoleh manfaat dari penjualan alkohol. Secara
paralel, sikap terhadap perilaku manusia yang berubah dan lebih liberal, sikap
laissez-faire (hal tak campur tangan ) menjadi
dominan. Demikian pula, teori kecanduan tercermin pergeseran ini. Konsep
Penyakit kedua kecanduan dikembangkan, yang tidak lagi melihat substansi
sebagai masalah tetapi menunjuk jari pada orang-orang yang menjadi kecanduan.
Dalam perspektif ini, minoritas kecil dari mereka yang mengonsumsi alkohol
secara berlebihan dipandang sebagai memiliki masalah, tetapi untuk sisa
konsumsi alkohol masyarakat kembali ke posisi kebiasaan sosial yang dapat
diterima. Perspektif ini melegitimasi penjualan alkohol, diakui tunjangan
pemerintah yang dihasilkan dan menekankan pengobatan individu kecanduan.
Alkoholisme
dianggap sebagai penyakit yang dikembangkan oleh orang-orang tertentu
yang karena itu diperlukan dukungan dan pengobatan. Dalam perspektif penyakit kedua ada tiga argumen
yang berbeda:
(1)
sudah ada kelainan fisik;
(2)
sudah ada kelainan psikologis; dan
(3)
diperoleh teori ketergantungan.
Semua
ini memiliki model yang sama dari kecanduan dalam
bahwa mereka:
·
kecanduan
Anggaplah sebagai entitas diskrit “ kerja yg normal “ (Anda baik seorang pecandu atau bukan
kecanduan).
·
Hargai
kecanduan sebagai penyakit.
·
Fokus
pada individu sebagai masalah.
·
Hargai
kecanduan sebagai ireversibel.
·
Tekankan
pengobatan.
·
Tekankan
pengobatan melalui pantang total.
Masalah
Dengan Model Penyakit Kecanduan
Meskipun
banyak peneliti masih menekankan model penyakit
kecanduan, ada beberapa masalah dengan perspektif ini:
·
Model
Penyakit mendorong pengobatan melalui pantang seumur hidup. Namun, pantang
seumur hidup sangat langka dan mungkin sulit untuk dicapai.
·
Model ini tidak
memasukkan kambuh dalam konsep pengobatan.
Namun, ini perspektif 'semua atau tidak' benar-benar dapat mempromosikan kambuh melalui
mendorong individu untuk menetapkan
target yang tidak masuk akal pantang
dan dengan mendirikan ramalan
dari 'sekali mabuk,
selalu mabuk'.
·
Deskripsi
minum dikendalikan, yang menunjukkan bahwa pecandu alkohol dapat kembali ke 'normal minum' pola (Davies
1962; Sobel dan
Sobel 1978), menantang
ide-ide sentral dari model penyakit. Fenomena
minum dikendalikan menunjukkan bahwa mungkin kecanduan tidak dapat
diubah dan pantang yang mungkin
bukan satu-satunya tujuan pengobatan.
2.6.7.4 Tahun 1970-An Dan Seterusnya: Teori
Pembelajaran Sosial
Di bagian akhir abad kedua puluh sikap terhadap kecanduan berubah lagi.
Dengan perkembangan behaviorisme, teori belajar dan keyakinan bahwa perilaku
dibentuk oleh interaksi dengan lingkungan dan orang lain, keyakinan bahwa
perilaku yang berlebihan dan kecanduan adalah penyakit mulai ditantang. Sejak
1970-an, perilaku seperti merokok, minum dan obat-taking telah semakin
dijelaskan dalam konteks semua perilaku lainnya. Dengan cara yang sama bahwa
teori-teori agresi bergeser dari penyebab biologis (agresi sebagai naluri)
penyebab sosial (agresi sebagai respon terhadap lingkungan / pendidikan),
kecanduan juga terlihat sebagai perilaku yang dipelajari. Dalam perspektif ini,
istilah 'perilaku adiktif' diganti 'kecanduan' dan perilaku seperti itu
dianggap sebagai konsekuensi dari proses pembelajaran. Pergeseran ini menantang
konsep kecanduan, pecandu, penyakit dan penyakit; Namun, teori masih menekankan
pengobatan.
Perspektif
pembelajaran sosial berbeda dari model penyakit kecanduan
dalam beberapa cara:
·
perilaku
adiktif dipandang sebagai kebiasaan yang diperoleh, yang dipelajari sesuai
dengan aturan teori pembelajaran
sosial.
·
perilaku
adiktif dapat terpelajar;
mereka tidak dapat diubah.
·
perilaku
adiktif terletak di sepanjang kontinum ( rangkaian ); mereka tidak entitas diskrit.
·
perilaku
adiktif tidak berbeda dengan perilaku lainnya.
·
Pendekatan pengobatan
melibatkan baik jumlah pantang atau belajar
kembali perilaku 'normal' pola.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Addictive adalah kecanduan, behaviors adalah
perilaku atau tindakan. Jadi addictive behaviour adalah perilaku kecanduan. Berdasarkan
penelitian terakhir terdapat juga perilaku adiktif yang bukan karena pengaruh
obat.
Ketergantungan itu sendiri dapat berupa ketergantungan psikis (psychological
dependence) maupun ketergantungan fisiologis (physiological dependence).
Penelitian ini
mengidentifikasikan empat tahap penghentian perilaku adiktif meliputi : prekontemplasi, kontemplasi, aksi, dan
pemeliharaan. "Prekontemplasi" mengacu pada tahap bila seseorang
belum memikirkan sebuah perilaku sama sekali , orang itu belum bermaksud
mengubah suatu perilaku. Dalam tahap "kontemplasi", seseorang
benar-benar memikirkan suatu perilaku, namun masih belum siap untuk
melakukannya. Tahap "aksi" mengacu kepada keadaan bila orang telah
melakukan perubahan perilaku, sedangkan "pemeliharaan" merupakan
pengentalan jangka panjang dari perubahan yang telah terjadi. Terdapat empat
proses pembelajaran pada perilaku adiktif
yaitu pengkondisian klasik, pengkondisian operan, pembelajaran observational
dan kognitif.
3.2 Saran
Perilaku
adiktif sangat mempengaruhi pola perilaku manusia terutama dalam prilaku sehat.
Perilaku ini juga berdampak tidak baik untuk kesehatan baik fisik, psikologis,
ekonomi maupun sosial. Oleh karena itu sudah seharusnya ditingkatkan pola
perilaku sehat dari masyarakat, yang membutuhkan intervensi dari masyarakat itu
sendiri, tenaga kesehatan maupun pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Davison, G.
C., Neale,J.M., Kring, A.M (2006). Psikologi Abnormal (9th
edition).
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Ogden, Jane. 2012. Health Psychology fifth Edition. New York : Mc Graw Hill
Supratiknya, A. (1995) Mengenal Perilaku Abnormal. Yogyakarta:
Kanisius.
http://
www.depkes.go.id/download/buletin/buletin-ptm.pdf
http://www.hukor.depkes.go.id%2Fup_prod_kepmenkes%2FKM/NAPZA.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar